PADA
MALAM HARI
Oleh
: Arief Maulana Azzahri
Seperti
biasa, seperti kemarin, juga kini. Kita jalan sama-sama dalam menenggelam di
malam yang kelam menelan bunyi seram dan bulan makin muram dengan hanya
menampakkan sebagian geramnya dan sebagian perasaan kita temaram, yang kita
bedakan setiap genggam dari hujan rintik yang redam dan cerita dari catatan
yang terus dipendam. Kita lah cerita, dan cerita adalah kita, kita yang
menyulam malam jadi kelam.
Daun-daunnya
malam gugur menjuntai sangsai, menyelimut angin sepoi-sepoi di dahan-dahan
kering terkulai, dan suara binatang malam sesedapnya bersorak-sorai. Jalan yang
landai dengan berjalan santai, waktu-waktu yang sia-sia yang meraba-raba, dan
nafas mendesah sebab resah akan merekah. Kita berdua dengan atau tanpa, menerpa
cahaya samar bulan dengan santai, sia-sia dan gundah. Saling termangu menunggu
sesuatu yang seperti aroma bunga yang terendam waktu dan layu, seperti kusta
yang pelan-pelan menghabiskan raga, dan kuda yang melaju ke tempat yang dituju seperti
usia yang semakin cepat hendak beranjak dari tubuh dan berbaring di tempat yang
satu.
Malam
itu kita yang hanya berjalan berdua dan tak ingin ada yang mendua dari segala
duka. Memulai perbincangan seperti biasa, obrolan seputar kesia-siaan yang
membosankan. Tapi kita tak jenuh-jenuh membicarakannya, dan tiap malam pula.
Barangkali sudah tak mau lagi memperhitungkan masa lalu dan masa depan. Karena
kita dan waktu tak ada bedanya. Cuma bentuknya.
Angin
malam memeluk kita berdua mengelus dada sampai mengusap bulu halus kulit dan
bergairah, dan angin itu berlalu dan berlalu gairah itu, karena itu telah
menjadi masa lalu. Suara malam juga ternyata ingin berbagi cerita, oleh
daun-daun gugur, binatang-binatang lembur, kertap-kertap air gerimis,
desah-resah pohonan, dan dengau gitar yang samar-samar dari kejauhan malam
kelam. Memeriahkan malam dengan berbagai cerita. Dan setelah suara itu berlalu,
hening kembali, karena itu adalah masa lalu. Dari semua itu karena kita tidak
mau tahu dan menjadi batu-batu kerikil, seperti kerikil yang tak habisnya di
jalan dan jalan adalah kita.
Setiap malam yang dilalui adalah
dengan cerita, dengan waktu dan dengan jalan. Kita punya cerita, waktu dan jalan
yang tanpa menyinggung malam. Karena malam kenal kelam, yang punya cerita,
waktu dan jalan. Mungkin malam juga kita, karena kita berwajah kelam. Kelam
adalah kita, maka malam juga kita. Saat kau dan aku menjadi kita di malam buta,
kita adalah cerita, waktu, jalan, malam, dan kelam.
***
Malam yang panjang, terang bulan
yang melenggang dan kita seperti biasa berbincang. Tetapi tidak malam ini.
Malam ini kita ingin sesuatu yang berbeda dalam perbincangan malam panjang ini.
Seperti hujan yang memiliki cerita yang berbeda pada tiap anak yang berbasah
diri dalam dirinya. Namun kita yang merasa telah bukan lagi dalam kanak-kanak,
terkadang selalu banyak membebankan masalah pada hujan, dan hujan hanyalah
hujan, namun kita bukan sekedar kita. Begitu juga malam, tetapi kita adalah
malam bukan hujan, tentu kita tak menyalahkan malam.
“ayo, sedikit bergegas, air rintik
yang jatuh ingin lebih tahu seberapa berani kita,” kau bergesa
“sebaiknya
kau lebih sering mencoba,” sautku
“apa?
Aku harus apa katamu?,” kau heran dan mencoba bertanya
“iya,
dengan semua isyarat-isyarat sepanjang jalan ini, isyarat dibalik hujan rintik
ini,” sedikit penjelasan olehku
“aku
benci hujan. jangan sampai aku juga membencimu,” kau agak tidak senang
“iya,
aku bertanya-tanya. Kenapa kau benci hujan. bukankah setiap malam panjang kita
ini selalu di temani gerimis dan kemudian
berakhir cerita malam kita dengan hujan. setiap malam,” aku menegaskan.
“jadi
apa mau mu dengan hujan itu?.”
“sepertinya
hujan tidaklah seburuk yang kau kira...”
“tidak,”
kau memotong
“ayolah,
apa salahnya sekali-kali kita seperti kanak-kanak?,” kucoba untuk merayunya
“aku
tidak bisa menjadi anak kecil lagi. Anak kecil hanya sekumpulan yang melawan ironi dengan tangisan. Aku tak mau
menangis,”
Gerimis
sudah mulai tidak tahan lagi untuk menjadi hujan. airnya mulai membasah jalan
dan menjadi jalan, berjatuhan seirama waktu, membisikkan cerita pada pohonan, dan
danau-danau kecil yang menampung malam, juga awan hitamnya membikin cahaya
bulan jadi terpendam, sepertinya malam kelam akan menjadi semakin kelam karena
malam makin tenggelam, tapi tidak untuk kita. Memang seperti biasa, kita acuh
tak acuh dengan apa yang tidak kita suka. Dan hujan juga hanya hujan, jatuh pada
waktunya jatuh, suka atau tidak suka. Tapi malam ini kita membincangkan hujan,
begitu juga dengan hujan yang ingin lebih tahu tentang kita.
“menangislah,
cobalah sekali ini saja menangis,”
“tidak,
tidak akan. Aku bukan anak kecil,”
“menangis
sajalah. Aku akan merahasiakan ini”
“tidak..tidak..!
kau jahat memaksaku begitu”
“tentu,
karena kita bukan kanak-kanak lagi seperti yang kau bilang bukan?”
“kau
bodoh”
“iya,
kita bodoh, karena kita selalu tetap bercerita walau kita tahu bahwa hujan
mendengarnya. Setiap malam. Dan kita tak pernah menyalahkannya saat dia
mengelus badan ini. setiap malam, bukan?,”
“aku
mulai kesal sekesalnya kesal, aku mohon kau untuk diam,” kau menggesa langkah
“baiklah,
tapi bukankah kita telah sering diam dan sembunyi di balik cerita, waktu,
jalan, malam dan kelam,”
“tahu
kah kamu, hujan seperti lagu yang membikin ragu. Apakah ini ceritanya,
waktunya, jalannya, kelamnya, maupun malamnya?. Membawa kita menyelam lebih
dalam, bahwa tak selamanya dunia dongeng hanya sebagai cerita omong kosong
untuk menidurkan anak kecil. Tak selamanya kebencian adalah pilihan untuk bahagia.
Malah tambah bikin resah, bukan?,” aku mulai menceramahinya sedikit
“
biarlah hujan dan kita menyatu dalam satu isyarat, satu bahagia, satu tawa.
Yang kita jadikan pelarian dari segala resah gelisah dan pedih perih di kenyataan
dunia. menangislah, tertawalah, bersukacitalah. Biar hujan merahasiakannya dari
kesakitan. rasakanlah......biar hujan menyeka debu yang menutup muka.”
***
Hujan
dalam kita bernari berlari dalam malam kelam dalam gugur-gugur malam dalam
guguran cerita dalam rasa berguguran. Kau yang mencoba tetap tegar terhadap
mantera hujan dengan jaket kulit itu yang kau gelar keatas kepala, biar airnya
tak dapat mengelus-elus dan meraba semua rahasiamu. Kakimu yang seperti hendak
memburu, melaju perlahan-lahan. Dengan cemas hatimu mengucap-ucap. Kalau langkahmu
hendak tersaingi oleh aku yang mencoba menyamai gerakmu, kau mengeluh. Kalau
hujan yang hampir menyentuhmu, kau seperti hendak meletus pada nafas yang
putus-putus dan sejurus menghapus air yang terhentak pada kulitmu yang halus.
“jangan
terburu-buru begitu,”
“biar
aku pulang lebih cepat malam ini, jangan kau tahan aku lagi. Aku sudah mulai bosan
dengan kata-katamu tadi itu,”
“cobalah
mengerti”
“tak
akan. Dan tak mungkin”
“aku
yakin kau pasti merasakannya. Jangan malu. Biar hujan merahasiakannya dari
semua. Seperti ia merahasiakan perasaan anak-anak yang bermain di dalamnya”
“sudah,
sudah cukup, kau tidak mengerti,” kau menaikkan nada kesal
“bukankah
kau yang kurang mengerti dengan yang aku katakan?,”
Daun-daun
yang saling jatuh dan seolah bagai bertepuk tangan jatuh perlahan didepan jalan
seiring dengan melambatnya langkahmu karena letihmu. Daun itu tak sendiri
bermain, suara hewan malam kecil yang mengeluarkan suara indah seperti
memberikannya sebuah nada sebuah lagu tentang malam dan hujan.
“lihat
daun yang jatuh dengan tenang itu, dengarkan suara serangga kecil itu. Mereka
mengajak kita bermain. Dalam cahaya hujan. dalam bahasa cinta pesta pora malam
indah ini, inilah yang selama ini kita inginkan,” aku bentangkan tangan
menampunya hujan dan angin
“ayo
berlindunglah kau dari hujan ini, agar kau tak kena sihir hujan ini kawan,” kau
menasihati
“tidak,
sini rasakanlah, ayo. Kita bergirang bersama dari semua kecemasan. Ayo”
“kau
semakin gila. Aku tak mau jadi gila sepertimu”
“tidak,
malah kau yang akan gila bila membantah keceriaan ini”
“tidak”
“aku
yakin kamu pasti ingin”
“jangan
buat aku menangis”
“menangislah
biar hujan merahasiakannya”
“tidak”
“ayolah”
Hujan
malam mereda. Malam mereda, begitupun yang lainnya. Kau tertunduk penuh. Dalam
hati beradu dengan rayu, hatinya begitu bisu mengatakan karena rumitnya mulut.
Gaduh yang menyambar, yang bikin merinding yang bikin melayang, tapi mulut
begitu rumit. Dalam keluh yang terbasuh ada teguh yang melepuh, tapi mulut
seperti tak setubuh. Namun datangnya sinar diujung jalan yang di sambut pohonan
pada tepi jalan dan embun pagi yang membekukan angin dan daun pohonan, bagai
keindahan jalan pulang yang damai dan tenang. Kau yang sedang berluas pandang,
yang bingung dengan segala haru, yang tak sadar menjatuhkan air mata kesedihan
dan kebahagiaan. Menatap aku dengan segala keharuan dan penyesalan, melepaskan
semua dari mulut yang mengadu.
“sepertinya
aku mengalah. Aku menangis, aku berbahagia. Hujan ini,” kau menangis
“sudahlah,
lagi pula ini tidaklah sedang hujan,”
“tapi,
mari kita nikmati datangnya pagi ini,” sambil menatap mentari yang meraba-raba