Jumat, 03 Juni 2016

Aku musti hidup



Aku musti hidup apapun caranya
Tidak apa-apa bikin luka,
Luka bisa disembuhkan
Tidak apa-apa mengambil dari orang
Nanti bisa dikembalikan
Tidak apa-apa meminta-minta
Pokoknya aku musti hidup
Aku ini laki-laki, harapan keluarga
Kalau malas tidak bisa makan
Tidak makan mati kelaparan
Karena aku musti hidup
Aku tidak boleh malas
Malu kalau makan dari istri
Tapi aku musti hidup
Meski aku tahu itu tidak baik
Yang penting aku bisa beli beras dan garam buat sebulan
Tidak. Aku juga butuh baju
Kalau aku ambil satu baju diam-diam di mall mereka pasti tidak apa-apa
Lagi pula mereka juga sudah untung banyak
Karena aku musti hidup
Hidup juga butuh banyak hal
Bukan makan minum dan baju saja
Anak ku butuh uang untuk bayar sekolah
Sekolah juga kebutuhan hidup
Istri ku juga pengen dandan-dandan.
Dandan juga kebutuhan hidup
Karena aku musti hidup
Aku harus cari uang dan alat-alat dandan
Kalau tidak aku ditinggal anak dan istri
Anak dan istri juga kebutuhan hidup
Tanpa mereka aku tidak bisa hidup
Tapi aku musti hidup
Aku pun ambil sana ambil sini
Minta sana minta sini
Luka sana luka sini
Tapi aku musti hidup
Tapi pak sekuriti tidak mengerti
Dia membawa ku ke kantor polisi
Padahal aku cuma ambil satu lipstick
Istri ku mau berdandan
Aku juga belum dapat uang
Anak ku sudah nagih-nagih buat bayar uang buku pelajaran
Pak polisi juga tidak mengerti
Yang mereka katakan cuma basa-basi soal melanggar hukum
Padahal sudah ku jelaskan berkali-kali
Kalau aku musti hidup
Tapi aku malah dilempar dalam jeruji
Tidak sempat kasih lipstick ke istri yang menunggu dirumah
Aku juga belum dapat uang
Aku musti hidup
Tapi tidak ada yang mengerti

Jumat, 30 Januari 2015

Santai Sejenak diawal 2015

Libur telah tiba, libur telah tiba,
hore hore hore
simpanlah tas dan bukumu
lupakan keluh kesahmu
libur telah tiba, libur telah tiba
hatiku gembira

hai hai semua kita bertemu kembali ditahun 2015 setelah akhirnya 2014 kita simpan sebagai kenangan yang semoga saja terindah ya hahaha. ya ya tapi dari taun ke taun sebenarnya tidak ada yang berubah, aku tetep aja suka sama wanita, YA PASTILAH hahaha. tapi yang paling penting bagi mahasiswa seperti ane ini adalah salah satu waktu yang ditunggu-tunggu. ya LIBURAN...libur telah tiba libur telah tiba hore hore horee

mengawali liburan dimusim baru ini ada baiknya dimulai dengan hal-hal yang ringan, seperti tidur. ya karena tidur adalah waktu yang sering tertunda ketika masa kuliah sedang berlangsung. yah namanya juga mahasiswa. demi cita-cita apapun akan dilakukan. cita-cita ane sangat tinggi ketika baru pertama kali masuk kuliah, udah mikir kerja dan nikah dan siap-siapin nama buat anak ane nanti hahaha udah jauh banget ya pikirannya. eh setelah dirasa-rasa beberapa semester langsung cita-cita ane berubah, ane bercita-cita cepet wisuda. benar, sungguh berat penderitaan ini, sakitnya tu dimana-mana.

sudah lupakan sejenak keluh kesah tadi. seperti yang sudah ane katakan libur adalah waktu yang paling ditunggu, lalu bagaimana caranya agar liburan ini banyak manfaat buat kite? yup ane ada beberapa cara yang dapat kita lakukan agar liburan menjadi lebih asik. oleh karena itu nantikan postingan ane selanjutnya. bye bye dulu cantik

Senin, 22 Desember 2014

Tahun Yang Sedih

      Yah.. Tahun 2014 ini akan berakhir juga. Banyak hari yang berlalu dengan cepat dan lambat. Banyak kenangan dan pengalaman yang didapat. Tetapi rasanya ini seperti tahun terburuk dalam sejarah hidupku. Tahun ini bisa dibilang adalah tahun yang sedih. Kenangan dan Pengalaman sedih lebih banyak menghiasi perjalannanku selama setahun ini. sedih tentang pertemuan dan perpisahaan. sedih tentang harapan dan kenyataan. sedih tentang pengakuan dan harga diri. dan sedih-sedih yang lainnya.

      Lalu apa yang aku harus lakukan terhadap semua itu?, tidak ada. Sekarang aku hanya bisa menerima itu dengan berat hati. Berharap walaupun tidak ada harapan, menjadi manusia tangguh, melawan cobaan. Mungkin Allah sedang mengujiku, sebelum aku benar-benar menjadi dewasa, menjadi manusia yang lebih matang lagi. Walaupun sebenarnya banyak yang tidak bisa hatiku terima. Dan aku belum juga banyak belajar dari kesalahan dan kekacauan yang aku buat. Sebagai tindakan terhadap kekecewaanku terhadap orang lain, aku sering berucap mengutuk. Dan sepertinya kutukan itu malah mengenai diriku sendiri. Betapa bodohnya aku. sekali lagi betapa bodohnya aku.

      Bagaimana aku harus mengatakannya lagi?, aku tidak tahu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksiku melihat teman-teman sekolahku dulu kini mendapatkan kawan baru yang terlihat sangat akrab, lalu aku?, tidak ada satu temanpun yang aku anggap akrab denganku, ya karena memang tidak ada yang mau akrab denganku. Padahal aku sangat membutuhkan itu. Kesedihan ini menghantuiku sepanjang tahun ini.

      Bagaimana reaksiku melihat teman-teman seperjuanganku mendapatkan penghargaan tinggi terhadap apa yang juga aku perjuangkan, namun aku belum juga mendapat penghargaan tinggi itu. Kadang aku mencoba memotivasi diri melewati angan-angan. Tetapi itu adalah hal yang salah yang semakin membuatku bersedih. Teman-temanku mendapatkan penghargaan tinggi yang lain, namun aku juga belum beranjak dari ketidak-adaan. Kesedihan ini yang membuatku kehilangan harga diri.

     Bagaimana reaksiku menerima kehadiran seseorang yang sebelumnya sempat aku mempermainkan perasaanku sendiri terhadapnya. Nasibku sebagai seorang pengecut datang lagi kali ini, dengan wujud yang lebih mengecewakan. Ternyata mempermainkan hati telah membuatku menjadi lebih ingin memiliki walaupun aku tahu dia telah dimiliki yang lebih baik dariku. Dan dia pergi menghilang tanpa sepatah kata sebelum aku sempat mendekatinya. Kesedihan ini selalu aku kenang sebagai kegagalan cintaku.

     Bagaimana lagi aku harus mengatakan semua kesedihan ini. Terlalu banyak kesedihan. Sampai-sampai aku mau menangis menulis ini. Aku harus kuat. Setiap tindakan pasti memiliki resiko. Tahun ini mungkin aku belum siap terhadap resiko-resiko itu. Dan dampaknya luar biasa. Sungguh betapa betapa sedih memang. Bahkan aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan ini dibalik wajah kriminalku ini. aaahhh... Cepatlah berlalu tahun ini. Dan berilah aku ramalan bintang yang lebih baik tahun depan. Aku harus bisa melihat kedepan, dan menjadikan sejarah tadi sebagai perjuanganku. Aku hanya butuh sedikit perjuangan lagi, dan aku pasti bisa melaluinya tahun depan. Aku harus percaya. Aku percaya...

     Oh tahun kesedihan, terimakasih untuk semuanya.

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Pada Malam Hari

PADA MALAM HARI
Oleh : Arief Maulana Azzahri

Seperti biasa, seperti kemarin, juga kini. Kita jalan sama-sama dalam menenggelam di malam yang kelam menelan bunyi seram dan bulan makin muram dengan hanya menampakkan sebagian geramnya dan sebagian perasaan kita temaram, yang kita bedakan setiap genggam dari hujan rintik yang redam dan cerita dari catatan yang terus dipendam. Kita lah cerita, dan cerita adalah kita, kita yang menyulam malam jadi kelam.
Daun-daunnya malam gugur menjuntai sangsai, menyelimut angin sepoi-sepoi di dahan-dahan kering terkulai, dan suara binatang malam sesedapnya bersorak-sorai. Jalan yang landai dengan berjalan santai, waktu-waktu yang sia-sia yang meraba-raba, dan nafas mendesah sebab resah akan merekah. Kita berdua dengan atau tanpa, menerpa cahaya samar bulan dengan santai, sia-sia dan gundah. Saling termangu menunggu sesuatu yang seperti aroma bunga yang terendam waktu dan layu, seperti kusta yang pelan-pelan menghabiskan raga, dan kuda yang melaju ke tempat yang dituju seperti usia yang semakin cepat hendak beranjak dari tubuh dan berbaring di tempat yang satu.
Malam itu kita yang hanya berjalan berdua dan tak ingin ada yang mendua dari segala duka. Memulai perbincangan seperti biasa, obrolan seputar kesia-siaan yang membosankan. Tapi kita tak jenuh-jenuh membicarakannya, dan tiap malam pula. Barangkali sudah tak mau lagi memperhitungkan masa lalu dan masa depan. Karena kita dan waktu tak ada bedanya. Cuma bentuknya.
Angin malam memeluk kita berdua mengelus dada sampai mengusap bulu halus kulit dan bergairah, dan angin itu berlalu dan berlalu gairah itu, karena itu telah menjadi masa lalu. Suara malam juga ternyata ingin berbagi cerita, oleh daun-daun gugur, binatang-binatang lembur, kertap-kertap air gerimis, desah-resah pohonan, dan dengau gitar yang samar-samar dari kejauhan malam kelam. Memeriahkan malam dengan berbagai cerita. Dan setelah suara itu berlalu, hening kembali, karena itu adalah masa lalu. Dari semua itu karena kita tidak mau tahu dan menjadi batu-batu kerikil, seperti kerikil yang tak habisnya di jalan dan jalan adalah kita.
            Setiap malam yang dilalui adalah dengan cerita, dengan waktu dan dengan jalan. Kita punya cerita, waktu dan jalan yang tanpa menyinggung malam. Karena malam kenal kelam, yang punya cerita, waktu dan jalan. Mungkin malam juga kita, karena kita berwajah kelam. Kelam adalah kita, maka malam juga kita. Saat kau dan aku menjadi kita di malam buta, kita adalah cerita, waktu, jalan, malam, dan kelam.
***
            Malam yang panjang, terang bulan yang melenggang dan kita seperti biasa berbincang. Tetapi tidak malam ini. Malam ini kita ingin sesuatu yang berbeda dalam perbincangan malam panjang ini. Seperti hujan yang memiliki cerita yang berbeda pada tiap anak yang berbasah diri dalam dirinya. Namun kita yang merasa telah bukan lagi dalam kanak-kanak, terkadang selalu banyak membebankan masalah pada hujan, dan hujan hanyalah hujan, namun kita bukan sekedar kita. Begitu juga malam, tetapi kita adalah malam bukan hujan, tentu kita tak menyalahkan malam.
            “ayo, sedikit bergegas, air rintik yang jatuh ingin lebih tahu seberapa berani kita,” kau bergesa
“sebaiknya kau lebih sering mencoba,” sautku
“apa? Aku harus apa katamu?,” kau heran dan mencoba bertanya 
“iya, dengan semua isyarat-isyarat sepanjang jalan ini, isyarat dibalik hujan rintik ini,” sedikit penjelasan olehku
“aku benci hujan. jangan sampai aku juga membencimu,” kau agak tidak senang
“iya, aku bertanya-tanya. Kenapa kau benci hujan. bukankah setiap malam panjang kita ini  selalu di temani gerimis dan kemudian berakhir cerita malam kita dengan hujan. setiap malam,” aku menegaskan.
“jadi apa mau mu dengan hujan itu?.”
“sepertinya hujan tidaklah seburuk yang kau kira...”
“tidak,” kau memotong
“ayolah, apa salahnya sekali-kali kita seperti kanak-kanak?,” kucoba untuk merayunya
“aku tidak bisa menjadi anak kecil lagi. Anak kecil hanya sekumpulan yang  melawan ironi dengan tangisan. Aku tak mau menangis,”
Gerimis sudah mulai tidak tahan lagi untuk menjadi hujan. airnya mulai membasah jalan dan menjadi jalan, berjatuhan seirama waktu, membisikkan cerita pada pohonan, dan danau-danau kecil yang menampung malam, juga awan hitamnya membikin cahaya bulan jadi terpendam, sepertinya malam kelam akan menjadi semakin kelam karena malam makin tenggelam, tapi tidak untuk kita. Memang seperti biasa, kita acuh tak acuh dengan apa yang tidak kita suka. Dan hujan juga hanya hujan, jatuh pada waktunya jatuh, suka atau tidak suka. Tapi malam ini kita membincangkan hujan, begitu juga dengan hujan yang ingin lebih tahu tentang kita.
“menangislah, cobalah sekali ini saja menangis,”
“tidak, tidak akan. Aku bukan anak kecil,”
“menangis sajalah. Aku akan merahasiakan ini”
“tidak..tidak..! kau jahat memaksaku begitu”
“tentu, karena kita bukan kanak-kanak lagi seperti yang kau bilang bukan?”
“kau bodoh”
“iya, kita bodoh, karena kita selalu tetap bercerita walau kita tahu bahwa hujan mendengarnya. Setiap malam. Dan kita tak pernah menyalahkannya saat dia mengelus badan ini. setiap malam, bukan?,”
“aku mulai kesal sekesalnya kesal, aku mohon kau untuk diam,” kau menggesa langkah
“baiklah, tapi bukankah kita telah sering diam dan sembunyi di balik cerita, waktu, jalan, malam dan kelam,”
“tahu kah kamu, hujan seperti lagu yang membikin ragu. Apakah ini ceritanya, waktunya, jalannya, kelamnya, maupun malamnya?. Membawa kita menyelam lebih dalam, bahwa tak selamanya dunia dongeng hanya sebagai cerita omong kosong untuk menidurkan anak kecil. Tak selamanya kebencian adalah pilihan untuk bahagia. Malah tambah bikin resah, bukan?,” aku mulai menceramahinya sedikit
“ biarlah hujan dan kita menyatu dalam satu isyarat, satu bahagia, satu tawa. Yang kita jadikan pelarian dari segala resah gelisah dan pedih perih di kenyataan dunia. menangislah, tertawalah, bersukacitalah. Biar hujan merahasiakannya dari kesakitan. rasakanlah......biar hujan menyeka debu yang menutup muka.”
***
Hujan dalam kita bernari berlari dalam malam kelam dalam gugur-gugur malam dalam guguran cerita dalam rasa berguguran. Kau yang mencoba tetap tegar terhadap mantera hujan dengan jaket kulit itu yang kau gelar keatas kepala, biar airnya tak dapat mengelus-elus dan meraba semua rahasiamu. Kakimu yang seperti hendak memburu, melaju perlahan-lahan. Dengan cemas hatimu mengucap-ucap. Kalau langkahmu hendak tersaingi oleh aku yang mencoba menyamai gerakmu, kau mengeluh. Kalau hujan yang hampir menyentuhmu, kau seperti hendak meletus pada nafas yang putus-putus dan sejurus menghapus air yang terhentak pada kulitmu yang halus.
“jangan terburu-buru begitu,”
“biar aku pulang lebih cepat malam ini, jangan kau tahan aku lagi. Aku sudah mulai bosan dengan kata-katamu tadi itu,”
“cobalah mengerti”
“tak akan. Dan tak mungkin”
“aku yakin kau pasti merasakannya. Jangan malu. Biar hujan merahasiakannya dari semua. Seperti ia merahasiakan perasaan anak-anak yang bermain di dalamnya”
“sudah, sudah cukup, kau tidak mengerti,” kau menaikkan nada kesal
“bukankah kau yang kurang mengerti dengan yang aku katakan?,”
Daun-daun yang saling jatuh dan seolah bagai bertepuk tangan jatuh perlahan didepan jalan seiring dengan melambatnya langkahmu karena letihmu. Daun itu tak sendiri bermain, suara hewan malam kecil yang mengeluarkan suara indah seperti memberikannya sebuah nada sebuah lagu tentang malam dan hujan.
“lihat daun yang jatuh dengan tenang itu, dengarkan suara serangga kecil itu. Mereka mengajak kita bermain. Dalam cahaya hujan. dalam bahasa cinta pesta pora malam indah ini, inilah yang selama ini kita inginkan,” aku bentangkan tangan menampunya hujan dan angin
“ayo berlindunglah kau dari hujan ini, agar kau tak kena sihir hujan ini kawan,” kau menasihati
“tidak, sini rasakanlah, ayo. Kita bergirang bersama dari semua kecemasan. Ayo”
“kau semakin gila. Aku tak mau jadi gila sepertimu”
“tidak, malah kau yang akan gila bila membantah keceriaan ini”
“tidak”
“aku yakin kamu pasti ingin”
“jangan buat aku menangis”
“menangislah biar hujan merahasiakannya”
“tidak”
“ayolah”
Hujan malam mereda. Malam mereda, begitupun yang lainnya. Kau tertunduk penuh. Dalam hati beradu dengan rayu, hatinya begitu bisu mengatakan karena rumitnya mulut. Gaduh yang menyambar, yang bikin merinding yang bikin melayang, tapi mulut begitu rumit. Dalam keluh yang terbasuh ada teguh yang melepuh, tapi mulut seperti tak setubuh. Namun datangnya sinar diujung jalan yang di sambut pohonan pada tepi jalan dan embun pagi yang membekukan angin dan daun pohonan, bagai keindahan jalan pulang yang damai dan tenang. Kau yang sedang berluas pandang, yang bingung dengan segala haru, yang tak sadar menjatuhkan air mata kesedihan dan kebahagiaan. Menatap aku dengan segala keharuan dan penyesalan, melepaskan semua dari mulut yang mengadu.
“sepertinya aku mengalah. Aku menangis, aku berbahagia. Hujan ini,” kau menangis
“sudahlah, lagi pula ini tidaklah sedang hujan,”

“tapi, mari kita nikmati datangnya pagi ini,” sambil menatap mentari yang meraba-raba

Kamis, 30 Oktober 2014

Tidak Terkendali

Sebuah ruang gelap seorang anak pendiam, mencari jatidiri, dari sebuah gerombolan. Aku temukan diri ini terpaku pada bisunya raga. Rasa ingin tau yang rapat-rapat aku sembunyikan, mulai menggelegak sampai di ujung tenggorokan. sulit bernafas, terengah-engah, melihat sekitar, batin berucap-ucap, keringat berkeliaran, dan telinga mendengar dengung tak dikenal. Aku kembali diam, setelah memastikan keadaan dalam ruangan tidak terpengaruh oleh kegusaranku tadi. Bagaimana harus kukatakan keadaan ini padamu, padanya dan pada mereka. 
Aku terkadang tidak terkendali. berkata yang tidak dapat dipahami, tidak mendengar dengan jernih, penglihatan yang semu dan berdebu. Aku semakin tidak mengerti. dengan yang terjadi. bukan mimpi, bukan halusinasi, bukan fatamorgana, bukan ilusi, bukan khayalan ataupun bayang-bayang. Diri ini seakan tidak dimiliki seorang saja. Ketika aku mulai tak berdaya dan berada dibatas terendah. tubuh ini bertingkah semaunya bukan semauku, aku tak terkendali. tidak ada yang aku pahami. Walaupun aku sampai melewati batas kesadaran. Ini misteri, ini misteri.
misteri adalah sesuatu yang tidak terkendali.