Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Pada Malam Hari

PADA MALAM HARI
Oleh : Arief Maulana Azzahri

Seperti biasa, seperti kemarin, juga kini. Kita jalan sama-sama dalam menenggelam di malam yang kelam menelan bunyi seram dan bulan makin muram dengan hanya menampakkan sebagian geramnya dan sebagian perasaan kita temaram, yang kita bedakan setiap genggam dari hujan rintik yang redam dan cerita dari catatan yang terus dipendam. Kita lah cerita, dan cerita adalah kita, kita yang menyulam malam jadi kelam.
Daun-daunnya malam gugur menjuntai sangsai, menyelimut angin sepoi-sepoi di dahan-dahan kering terkulai, dan suara binatang malam sesedapnya bersorak-sorai. Jalan yang landai dengan berjalan santai, waktu-waktu yang sia-sia yang meraba-raba, dan nafas mendesah sebab resah akan merekah. Kita berdua dengan atau tanpa, menerpa cahaya samar bulan dengan santai, sia-sia dan gundah. Saling termangu menunggu sesuatu yang seperti aroma bunga yang terendam waktu dan layu, seperti kusta yang pelan-pelan menghabiskan raga, dan kuda yang melaju ke tempat yang dituju seperti usia yang semakin cepat hendak beranjak dari tubuh dan berbaring di tempat yang satu.
Malam itu kita yang hanya berjalan berdua dan tak ingin ada yang mendua dari segala duka. Memulai perbincangan seperti biasa, obrolan seputar kesia-siaan yang membosankan. Tapi kita tak jenuh-jenuh membicarakannya, dan tiap malam pula. Barangkali sudah tak mau lagi memperhitungkan masa lalu dan masa depan. Karena kita dan waktu tak ada bedanya. Cuma bentuknya.
Angin malam memeluk kita berdua mengelus dada sampai mengusap bulu halus kulit dan bergairah, dan angin itu berlalu dan berlalu gairah itu, karena itu telah menjadi masa lalu. Suara malam juga ternyata ingin berbagi cerita, oleh daun-daun gugur, binatang-binatang lembur, kertap-kertap air gerimis, desah-resah pohonan, dan dengau gitar yang samar-samar dari kejauhan malam kelam. Memeriahkan malam dengan berbagai cerita. Dan setelah suara itu berlalu, hening kembali, karena itu adalah masa lalu. Dari semua itu karena kita tidak mau tahu dan menjadi batu-batu kerikil, seperti kerikil yang tak habisnya di jalan dan jalan adalah kita.
            Setiap malam yang dilalui adalah dengan cerita, dengan waktu dan dengan jalan. Kita punya cerita, waktu dan jalan yang tanpa menyinggung malam. Karena malam kenal kelam, yang punya cerita, waktu dan jalan. Mungkin malam juga kita, karena kita berwajah kelam. Kelam adalah kita, maka malam juga kita. Saat kau dan aku menjadi kita di malam buta, kita adalah cerita, waktu, jalan, malam, dan kelam.
***
            Malam yang panjang, terang bulan yang melenggang dan kita seperti biasa berbincang. Tetapi tidak malam ini. Malam ini kita ingin sesuatu yang berbeda dalam perbincangan malam panjang ini. Seperti hujan yang memiliki cerita yang berbeda pada tiap anak yang berbasah diri dalam dirinya. Namun kita yang merasa telah bukan lagi dalam kanak-kanak, terkadang selalu banyak membebankan masalah pada hujan, dan hujan hanyalah hujan, namun kita bukan sekedar kita. Begitu juga malam, tetapi kita adalah malam bukan hujan, tentu kita tak menyalahkan malam.
            “ayo, sedikit bergegas, air rintik yang jatuh ingin lebih tahu seberapa berani kita,” kau bergesa
“sebaiknya kau lebih sering mencoba,” sautku
“apa? Aku harus apa katamu?,” kau heran dan mencoba bertanya 
“iya, dengan semua isyarat-isyarat sepanjang jalan ini, isyarat dibalik hujan rintik ini,” sedikit penjelasan olehku
“aku benci hujan. jangan sampai aku juga membencimu,” kau agak tidak senang
“iya, aku bertanya-tanya. Kenapa kau benci hujan. bukankah setiap malam panjang kita ini  selalu di temani gerimis dan kemudian berakhir cerita malam kita dengan hujan. setiap malam,” aku menegaskan.
“jadi apa mau mu dengan hujan itu?.”
“sepertinya hujan tidaklah seburuk yang kau kira...”
“tidak,” kau memotong
“ayolah, apa salahnya sekali-kali kita seperti kanak-kanak?,” kucoba untuk merayunya
“aku tidak bisa menjadi anak kecil lagi. Anak kecil hanya sekumpulan yang  melawan ironi dengan tangisan. Aku tak mau menangis,”
Gerimis sudah mulai tidak tahan lagi untuk menjadi hujan. airnya mulai membasah jalan dan menjadi jalan, berjatuhan seirama waktu, membisikkan cerita pada pohonan, dan danau-danau kecil yang menampung malam, juga awan hitamnya membikin cahaya bulan jadi terpendam, sepertinya malam kelam akan menjadi semakin kelam karena malam makin tenggelam, tapi tidak untuk kita. Memang seperti biasa, kita acuh tak acuh dengan apa yang tidak kita suka. Dan hujan juga hanya hujan, jatuh pada waktunya jatuh, suka atau tidak suka. Tapi malam ini kita membincangkan hujan, begitu juga dengan hujan yang ingin lebih tahu tentang kita.
“menangislah, cobalah sekali ini saja menangis,”
“tidak, tidak akan. Aku bukan anak kecil,”
“menangis sajalah. Aku akan merahasiakan ini”
“tidak..tidak..! kau jahat memaksaku begitu”
“tentu, karena kita bukan kanak-kanak lagi seperti yang kau bilang bukan?”
“kau bodoh”
“iya, kita bodoh, karena kita selalu tetap bercerita walau kita tahu bahwa hujan mendengarnya. Setiap malam. Dan kita tak pernah menyalahkannya saat dia mengelus badan ini. setiap malam, bukan?,”
“aku mulai kesal sekesalnya kesal, aku mohon kau untuk diam,” kau menggesa langkah
“baiklah, tapi bukankah kita telah sering diam dan sembunyi di balik cerita, waktu, jalan, malam dan kelam,”
“tahu kah kamu, hujan seperti lagu yang membikin ragu. Apakah ini ceritanya, waktunya, jalannya, kelamnya, maupun malamnya?. Membawa kita menyelam lebih dalam, bahwa tak selamanya dunia dongeng hanya sebagai cerita omong kosong untuk menidurkan anak kecil. Tak selamanya kebencian adalah pilihan untuk bahagia. Malah tambah bikin resah, bukan?,” aku mulai menceramahinya sedikit
“ biarlah hujan dan kita menyatu dalam satu isyarat, satu bahagia, satu tawa. Yang kita jadikan pelarian dari segala resah gelisah dan pedih perih di kenyataan dunia. menangislah, tertawalah, bersukacitalah. Biar hujan merahasiakannya dari kesakitan. rasakanlah......biar hujan menyeka debu yang menutup muka.”
***
Hujan dalam kita bernari berlari dalam malam kelam dalam gugur-gugur malam dalam guguran cerita dalam rasa berguguran. Kau yang mencoba tetap tegar terhadap mantera hujan dengan jaket kulit itu yang kau gelar keatas kepala, biar airnya tak dapat mengelus-elus dan meraba semua rahasiamu. Kakimu yang seperti hendak memburu, melaju perlahan-lahan. Dengan cemas hatimu mengucap-ucap. Kalau langkahmu hendak tersaingi oleh aku yang mencoba menyamai gerakmu, kau mengeluh. Kalau hujan yang hampir menyentuhmu, kau seperti hendak meletus pada nafas yang putus-putus dan sejurus menghapus air yang terhentak pada kulitmu yang halus.
“jangan terburu-buru begitu,”
“biar aku pulang lebih cepat malam ini, jangan kau tahan aku lagi. Aku sudah mulai bosan dengan kata-katamu tadi itu,”
“cobalah mengerti”
“tak akan. Dan tak mungkin”
“aku yakin kau pasti merasakannya. Jangan malu. Biar hujan merahasiakannya dari semua. Seperti ia merahasiakan perasaan anak-anak yang bermain di dalamnya”
“sudah, sudah cukup, kau tidak mengerti,” kau menaikkan nada kesal
“bukankah kau yang kurang mengerti dengan yang aku katakan?,”
Daun-daun yang saling jatuh dan seolah bagai bertepuk tangan jatuh perlahan didepan jalan seiring dengan melambatnya langkahmu karena letihmu. Daun itu tak sendiri bermain, suara hewan malam kecil yang mengeluarkan suara indah seperti memberikannya sebuah nada sebuah lagu tentang malam dan hujan.
“lihat daun yang jatuh dengan tenang itu, dengarkan suara serangga kecil itu. Mereka mengajak kita bermain. Dalam cahaya hujan. dalam bahasa cinta pesta pora malam indah ini, inilah yang selama ini kita inginkan,” aku bentangkan tangan menampunya hujan dan angin
“ayo berlindunglah kau dari hujan ini, agar kau tak kena sihir hujan ini kawan,” kau menasihati
“tidak, sini rasakanlah, ayo. Kita bergirang bersama dari semua kecemasan. Ayo”
“kau semakin gila. Aku tak mau jadi gila sepertimu”
“tidak, malah kau yang akan gila bila membantah keceriaan ini”
“tidak”
“aku yakin kamu pasti ingin”
“jangan buat aku menangis”
“menangislah biar hujan merahasiakannya”
“tidak”
“ayolah”
Hujan malam mereda. Malam mereda, begitupun yang lainnya. Kau tertunduk penuh. Dalam hati beradu dengan rayu, hatinya begitu bisu mengatakan karena rumitnya mulut. Gaduh yang menyambar, yang bikin merinding yang bikin melayang, tapi mulut begitu rumit. Dalam keluh yang terbasuh ada teguh yang melepuh, tapi mulut seperti tak setubuh. Namun datangnya sinar diujung jalan yang di sambut pohonan pada tepi jalan dan embun pagi yang membekukan angin dan daun pohonan, bagai keindahan jalan pulang yang damai dan tenang. Kau yang sedang berluas pandang, yang bingung dengan segala haru, yang tak sadar menjatuhkan air mata kesedihan dan kebahagiaan. Menatap aku dengan segala keharuan dan penyesalan, melepaskan semua dari mulut yang mengadu.
“sepertinya aku mengalah. Aku menangis, aku berbahagia. Hujan ini,” kau menangis
“sudahlah, lagi pula ini tidaklah sedang hujan,”

“tapi, mari kita nikmati datangnya pagi ini,” sambil menatap mentari yang meraba-raba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar