Sepuluh keliling rak
telah aku putari. Belum puas rasanya. Pada rak sepuluh aku berhenti. Sebuah
buku Terang Bulan ditangan kiriku tak seterang suasana hatiku. Sudah berapa
waktu juga aku coba hilangkan dan mau tidak mau berdatangan juga hari yang
lalu. Bayang-bayangmu. Aku memejam mata, aku ingat ketika itu, saat aku membuka
mata kutemukan dirimu pas disampingku sedang mengorek-orek buku-buku yang
berantakan di rak itu. Aku masih tidak begitu peduli. Sampai kau bertanya
padaku. “hei kamu, maukah kamu membantuku?.” Pintamu. “hei.. tentu, apa yang
mau dibantu?.” Jawabku polos. Kau pun mengatakan.”maukah kamu mendengarkan
ceritaku?.” Aku hanya tersenyum...
Memang salah ku benar waktu itu. Tidak aku catat
benar-benar apa yang aku katakan padamu. Tapi sudah terlampau lama kau rasai,
dan sepi tak hingga. Tidak kutemukan bahasa rindumu lagi dan wajahmu yang
bertumpu separuh tangan. Rindumu sebelum waktu ini: “tahu kah kamu?.” Tanyamu.
“tahu apa?.” Aku balik bertanya. “saat aku rindu padamu, aku bisa membuat
seribu puisi rindu.” Katamu. “lalu aku bisa apa?.” Tanyaku lagi. “kamu bisa
membacanya, untukku.”
Aku memejamkan mata. Tidak kutemukan makna Nocturno atau Fragment-nya pujangga muda itu..............................................
Juga tidak bernyawa.
.............................................
.............................................
Pena dan penyair keduanya mati,
Berpalingan!
Belum sampai hati dan
pikiranku untuk memaknainya. Dengan apa lagi aku harus memaknainya? Atau apakah
aku harus mengalaminya terlebih dulu?. Sudahlah. Aku membuka mata. Dan, lihat
apa yang kutemukan....
“Cinta itu luar
biasa. Tapi tahu kah kamu apa yang luar biasa darinya?.” Aku hanya tersenyum
mendengar ceritamu. “saat-saat bersamanya.” Lanjutmu. “coba kamu bayangkan,
kalau Jack dan Rose tidak pernah bertemu. Titanic akan tenggelam dengan sia-sia
bukan.” kamu menghela nafas. “walaupun mereka tidak bisa bersama selamanya.
Tapi setiap kebersamaan pasti ada cobaan bukan. Dan mereka harus mendapat
cobaan yang paling besar. Hidup mati. Hufft..” kagummu. “dan apa yang harus kau
tahu?.” Tanyaku padamu. “apa itu?.” Dengan heranmu lanjut kukatakan “kamu luar
biasa untukku.”
Begitu dalam kata-kata si Pujangga Muda
ini dalam puisi “Kepada Penyair Bohang”-nya.
Bagaimana bisa dia menuliskan ini... Suaramu
bertanda derita laut tenang...
Si Mati ini padaku masih berbicara
Karena dia cinta, di mulutnya
membusah
Dan rindu yang mau memerahi segala
Si Mati ini matanya terus bertanya!
........................................................
........................................................
Aku suka gayanya. Tidak
salah aku berkunjung kesini. Kutemukan jiwaku kembali. Segala lebar terbuka
segala merasa berada. Kekagumanku tak berhenti disitu. Aku bacai lagi puisi
Pujangga Muda ini, hingga aku berhenti pada satu puisi. Seperti yang aku
katakan, aku kagum, dan bingung. Kucoba pahami. Aku memejam mata...
“Dinegeri yang nun jauh dan masyur dikata orang. Bakal
tentu mereka memiliki puteri cantik bermahkota. Segala seperti surga untuknnya.
Rambutnya yang pendek tak kuasa menggariskan cahaya dari kening dan berujung
dirahannya yang sempurna. Angin barat pun begitu ingin membelai pendek
rambutnya. Senyumnya yang menawan menggambarkan perempuannya. Bila matanya
telah berkata, seperti menusuk sampai ke dada, tidak sanggup berlama
menatapnya. Dan yang paling kutunggu dari sepasang bibirnya yaitu ketika dia
cerewet.” Aku tertawa menghentikan ceritaku, dirimu merasa tersinggung dan
gemas padaku. “hmm.. sini aku cerewetin kamu.”
Sungguh tidak
menentu hatiku. Aku melangkah hanya mengikuti bayanganku yang terbujur kedepan:
sendirian. Sebagai penyair yang baru seumur jagung, barang tentu tidak
jauh-jauh benar aku dari sumber-sumber ilmu pengetahuan. Tanpa disadari telah
berjalan jauh aku, sampai aku merasa ingin berhenti: aku telah berhenti disuatu
tempat “Ini bukanlah negeri yang tidak kukenal.” Sadarku. Bibliotheek berdiri didepanku, aku masuk kedalamnya. Mega pustaka
ini kenapa baru kujumpa. Kemana saja aku selama ini. Aku akan berkeliling, aku
akan berjalan dengan sadarku. Dan aku tidak tahu apa yang akan aku temukan...
(seharusnya tidak ku temukan dirimu, hingga aku tidak akan
merasa seperti ini)...”
Mungkin kau tak harus
kabur,
bayang-bayangmu
yang menjauh dan
menghindar
dari terang lampu
Ia selalu menjauh dan
menghindar
dari terang lampu
Ia selalu mondar mandir
mencari-cari bentuk dan
namanya
yang tak pernah ada
AHWM, 1974
Terima kasihku,
Chairil Anwar,
Pramoedya Ananta Toer, Abdul Hadi WM,
dan untuk diri
dan kenanganku sendiri...
Posting For #RnC
24 Mei 2014

Keren pujangga muda
BalasHapusMa'aci :D
HapusHaha aku sendiri kagak ngarti apa yg aku tulis..
BalasHapusaaaaaaakkk!!! nggak ngerti deh harus ngomong apa!
BalasHapussejak lampau kan sudah kukata-katai kau dengan beribu kagum dan sejuta pujian. untuk yang ini, biarkan dulu aku termangu-mangu. sebab hati dan pikiranku masih tak terlalu pandai memaknai tulisan seindah ini :D
am kalo udah ngak sanggup, lambaikan saja tangan ke kamera,.. :D
BalasHapusmaauuuul, sumpah lo cowok melois di RnC. gak seperti postingannya pandy yang aku ngakak plus melotot depan komput. karyamu penuh imajinasi sekaliiiiiiii. aku sukaaa bagian yang ada perumpamaannya. membuat kita berfikir, lalu tersenyum atau mengerutkan dahi ketika berhasil menandai maknanya.
BalasHapusArrrggghhh, keren! hehehe.
Salut sama Maul... aku ngerti rasanya jadi si Aku itu... pengen jadinya punya tulisan kayak punyamu ini... CAKEPPP dan "Kompoor Gas Ul Buatmu"
BalasHapusGenre Etika sama kaya Maul...
waaah terimakasih sangat buat komen positip kawan semuanya.. :)
BalasHapusteman teman aku ada masalah dalam pengaturan komentarnya, aku udah pusing ngak bisa mengatasinya
BalasHapus