Senin, 22 Desember 2014

Tahun Yang Sedih

      Yah.. Tahun 2014 ini akan berakhir juga. Banyak hari yang berlalu dengan cepat dan lambat. Banyak kenangan dan pengalaman yang didapat. Tetapi rasanya ini seperti tahun terburuk dalam sejarah hidupku. Tahun ini bisa dibilang adalah tahun yang sedih. Kenangan dan Pengalaman sedih lebih banyak menghiasi perjalannanku selama setahun ini. sedih tentang pertemuan dan perpisahaan. sedih tentang harapan dan kenyataan. sedih tentang pengakuan dan harga diri. dan sedih-sedih yang lainnya.

      Lalu apa yang aku harus lakukan terhadap semua itu?, tidak ada. Sekarang aku hanya bisa menerima itu dengan berat hati. Berharap walaupun tidak ada harapan, menjadi manusia tangguh, melawan cobaan. Mungkin Allah sedang mengujiku, sebelum aku benar-benar menjadi dewasa, menjadi manusia yang lebih matang lagi. Walaupun sebenarnya banyak yang tidak bisa hatiku terima. Dan aku belum juga banyak belajar dari kesalahan dan kekacauan yang aku buat. Sebagai tindakan terhadap kekecewaanku terhadap orang lain, aku sering berucap mengutuk. Dan sepertinya kutukan itu malah mengenai diriku sendiri. Betapa bodohnya aku. sekali lagi betapa bodohnya aku.

      Bagaimana aku harus mengatakannya lagi?, aku tidak tahu. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana reaksiku melihat teman-teman sekolahku dulu kini mendapatkan kawan baru yang terlihat sangat akrab, lalu aku?, tidak ada satu temanpun yang aku anggap akrab denganku, ya karena memang tidak ada yang mau akrab denganku. Padahal aku sangat membutuhkan itu. Kesedihan ini menghantuiku sepanjang tahun ini.

      Bagaimana reaksiku melihat teman-teman seperjuanganku mendapatkan penghargaan tinggi terhadap apa yang juga aku perjuangkan, namun aku belum juga mendapat penghargaan tinggi itu. Kadang aku mencoba memotivasi diri melewati angan-angan. Tetapi itu adalah hal yang salah yang semakin membuatku bersedih. Teman-temanku mendapatkan penghargaan tinggi yang lain, namun aku juga belum beranjak dari ketidak-adaan. Kesedihan ini yang membuatku kehilangan harga diri.

     Bagaimana reaksiku menerima kehadiran seseorang yang sebelumnya sempat aku mempermainkan perasaanku sendiri terhadapnya. Nasibku sebagai seorang pengecut datang lagi kali ini, dengan wujud yang lebih mengecewakan. Ternyata mempermainkan hati telah membuatku menjadi lebih ingin memiliki walaupun aku tahu dia telah dimiliki yang lebih baik dariku. Dan dia pergi menghilang tanpa sepatah kata sebelum aku sempat mendekatinya. Kesedihan ini selalu aku kenang sebagai kegagalan cintaku.

     Bagaimana lagi aku harus mengatakan semua kesedihan ini. Terlalu banyak kesedihan. Sampai-sampai aku mau menangis menulis ini. Aku harus kuat. Setiap tindakan pasti memiliki resiko. Tahun ini mungkin aku belum siap terhadap resiko-resiko itu. Dan dampaknya luar biasa. Sungguh betapa betapa sedih memang. Bahkan aku tidak bisa menyembunyikan kesedihan ini dibalik wajah kriminalku ini. aaahhh... Cepatlah berlalu tahun ini. Dan berilah aku ramalan bintang yang lebih baik tahun depan. Aku harus bisa melihat kedepan, dan menjadikan sejarah tadi sebagai perjuanganku. Aku hanya butuh sedikit perjuangan lagi, dan aku pasti bisa melaluinya tahun depan. Aku harus percaya. Aku percaya...

     Oh tahun kesedihan, terimakasih untuk semuanya.

Selasa, 11 November 2014

Cerpen : Pada Malam Hari

PADA MALAM HARI
Oleh : Arief Maulana Azzahri

Seperti biasa, seperti kemarin, juga kini. Kita jalan sama-sama dalam menenggelam di malam yang kelam menelan bunyi seram dan bulan makin muram dengan hanya menampakkan sebagian geramnya dan sebagian perasaan kita temaram, yang kita bedakan setiap genggam dari hujan rintik yang redam dan cerita dari catatan yang terus dipendam. Kita lah cerita, dan cerita adalah kita, kita yang menyulam malam jadi kelam.
Daun-daunnya malam gugur menjuntai sangsai, menyelimut angin sepoi-sepoi di dahan-dahan kering terkulai, dan suara binatang malam sesedapnya bersorak-sorai. Jalan yang landai dengan berjalan santai, waktu-waktu yang sia-sia yang meraba-raba, dan nafas mendesah sebab resah akan merekah. Kita berdua dengan atau tanpa, menerpa cahaya samar bulan dengan santai, sia-sia dan gundah. Saling termangu menunggu sesuatu yang seperti aroma bunga yang terendam waktu dan layu, seperti kusta yang pelan-pelan menghabiskan raga, dan kuda yang melaju ke tempat yang dituju seperti usia yang semakin cepat hendak beranjak dari tubuh dan berbaring di tempat yang satu.
Malam itu kita yang hanya berjalan berdua dan tak ingin ada yang mendua dari segala duka. Memulai perbincangan seperti biasa, obrolan seputar kesia-siaan yang membosankan. Tapi kita tak jenuh-jenuh membicarakannya, dan tiap malam pula. Barangkali sudah tak mau lagi memperhitungkan masa lalu dan masa depan. Karena kita dan waktu tak ada bedanya. Cuma bentuknya.
Angin malam memeluk kita berdua mengelus dada sampai mengusap bulu halus kulit dan bergairah, dan angin itu berlalu dan berlalu gairah itu, karena itu telah menjadi masa lalu. Suara malam juga ternyata ingin berbagi cerita, oleh daun-daun gugur, binatang-binatang lembur, kertap-kertap air gerimis, desah-resah pohonan, dan dengau gitar yang samar-samar dari kejauhan malam kelam. Memeriahkan malam dengan berbagai cerita. Dan setelah suara itu berlalu, hening kembali, karena itu adalah masa lalu. Dari semua itu karena kita tidak mau tahu dan menjadi batu-batu kerikil, seperti kerikil yang tak habisnya di jalan dan jalan adalah kita.
            Setiap malam yang dilalui adalah dengan cerita, dengan waktu dan dengan jalan. Kita punya cerita, waktu dan jalan yang tanpa menyinggung malam. Karena malam kenal kelam, yang punya cerita, waktu dan jalan. Mungkin malam juga kita, karena kita berwajah kelam. Kelam adalah kita, maka malam juga kita. Saat kau dan aku menjadi kita di malam buta, kita adalah cerita, waktu, jalan, malam, dan kelam.
***
            Malam yang panjang, terang bulan yang melenggang dan kita seperti biasa berbincang. Tetapi tidak malam ini. Malam ini kita ingin sesuatu yang berbeda dalam perbincangan malam panjang ini. Seperti hujan yang memiliki cerita yang berbeda pada tiap anak yang berbasah diri dalam dirinya. Namun kita yang merasa telah bukan lagi dalam kanak-kanak, terkadang selalu banyak membebankan masalah pada hujan, dan hujan hanyalah hujan, namun kita bukan sekedar kita. Begitu juga malam, tetapi kita adalah malam bukan hujan, tentu kita tak menyalahkan malam.
            “ayo, sedikit bergegas, air rintik yang jatuh ingin lebih tahu seberapa berani kita,” kau bergesa
“sebaiknya kau lebih sering mencoba,” sautku
“apa? Aku harus apa katamu?,” kau heran dan mencoba bertanya 
“iya, dengan semua isyarat-isyarat sepanjang jalan ini, isyarat dibalik hujan rintik ini,” sedikit penjelasan olehku
“aku benci hujan. jangan sampai aku juga membencimu,” kau agak tidak senang
“iya, aku bertanya-tanya. Kenapa kau benci hujan. bukankah setiap malam panjang kita ini  selalu di temani gerimis dan kemudian berakhir cerita malam kita dengan hujan. setiap malam,” aku menegaskan.
“jadi apa mau mu dengan hujan itu?.”
“sepertinya hujan tidaklah seburuk yang kau kira...”
“tidak,” kau memotong
“ayolah, apa salahnya sekali-kali kita seperti kanak-kanak?,” kucoba untuk merayunya
“aku tidak bisa menjadi anak kecil lagi. Anak kecil hanya sekumpulan yang  melawan ironi dengan tangisan. Aku tak mau menangis,”
Gerimis sudah mulai tidak tahan lagi untuk menjadi hujan. airnya mulai membasah jalan dan menjadi jalan, berjatuhan seirama waktu, membisikkan cerita pada pohonan, dan danau-danau kecil yang menampung malam, juga awan hitamnya membikin cahaya bulan jadi terpendam, sepertinya malam kelam akan menjadi semakin kelam karena malam makin tenggelam, tapi tidak untuk kita. Memang seperti biasa, kita acuh tak acuh dengan apa yang tidak kita suka. Dan hujan juga hanya hujan, jatuh pada waktunya jatuh, suka atau tidak suka. Tapi malam ini kita membincangkan hujan, begitu juga dengan hujan yang ingin lebih tahu tentang kita.
“menangislah, cobalah sekali ini saja menangis,”
“tidak, tidak akan. Aku bukan anak kecil,”
“menangis sajalah. Aku akan merahasiakan ini”
“tidak..tidak..! kau jahat memaksaku begitu”
“tentu, karena kita bukan kanak-kanak lagi seperti yang kau bilang bukan?”
“kau bodoh”
“iya, kita bodoh, karena kita selalu tetap bercerita walau kita tahu bahwa hujan mendengarnya. Setiap malam. Dan kita tak pernah menyalahkannya saat dia mengelus badan ini. setiap malam, bukan?,”
“aku mulai kesal sekesalnya kesal, aku mohon kau untuk diam,” kau menggesa langkah
“baiklah, tapi bukankah kita telah sering diam dan sembunyi di balik cerita, waktu, jalan, malam dan kelam,”
“tahu kah kamu, hujan seperti lagu yang membikin ragu. Apakah ini ceritanya, waktunya, jalannya, kelamnya, maupun malamnya?. Membawa kita menyelam lebih dalam, bahwa tak selamanya dunia dongeng hanya sebagai cerita omong kosong untuk menidurkan anak kecil. Tak selamanya kebencian adalah pilihan untuk bahagia. Malah tambah bikin resah, bukan?,” aku mulai menceramahinya sedikit
“ biarlah hujan dan kita menyatu dalam satu isyarat, satu bahagia, satu tawa. Yang kita jadikan pelarian dari segala resah gelisah dan pedih perih di kenyataan dunia. menangislah, tertawalah, bersukacitalah. Biar hujan merahasiakannya dari kesakitan. rasakanlah......biar hujan menyeka debu yang menutup muka.”
***
Hujan dalam kita bernari berlari dalam malam kelam dalam gugur-gugur malam dalam guguran cerita dalam rasa berguguran. Kau yang mencoba tetap tegar terhadap mantera hujan dengan jaket kulit itu yang kau gelar keatas kepala, biar airnya tak dapat mengelus-elus dan meraba semua rahasiamu. Kakimu yang seperti hendak memburu, melaju perlahan-lahan. Dengan cemas hatimu mengucap-ucap. Kalau langkahmu hendak tersaingi oleh aku yang mencoba menyamai gerakmu, kau mengeluh. Kalau hujan yang hampir menyentuhmu, kau seperti hendak meletus pada nafas yang putus-putus dan sejurus menghapus air yang terhentak pada kulitmu yang halus.
“jangan terburu-buru begitu,”
“biar aku pulang lebih cepat malam ini, jangan kau tahan aku lagi. Aku sudah mulai bosan dengan kata-katamu tadi itu,”
“cobalah mengerti”
“tak akan. Dan tak mungkin”
“aku yakin kau pasti merasakannya. Jangan malu. Biar hujan merahasiakannya dari semua. Seperti ia merahasiakan perasaan anak-anak yang bermain di dalamnya”
“sudah, sudah cukup, kau tidak mengerti,” kau menaikkan nada kesal
“bukankah kau yang kurang mengerti dengan yang aku katakan?,”
Daun-daun yang saling jatuh dan seolah bagai bertepuk tangan jatuh perlahan didepan jalan seiring dengan melambatnya langkahmu karena letihmu. Daun itu tak sendiri bermain, suara hewan malam kecil yang mengeluarkan suara indah seperti memberikannya sebuah nada sebuah lagu tentang malam dan hujan.
“lihat daun yang jatuh dengan tenang itu, dengarkan suara serangga kecil itu. Mereka mengajak kita bermain. Dalam cahaya hujan. dalam bahasa cinta pesta pora malam indah ini, inilah yang selama ini kita inginkan,” aku bentangkan tangan menampunya hujan dan angin
“ayo berlindunglah kau dari hujan ini, agar kau tak kena sihir hujan ini kawan,” kau menasihati
“tidak, sini rasakanlah, ayo. Kita bergirang bersama dari semua kecemasan. Ayo”
“kau semakin gila. Aku tak mau jadi gila sepertimu”
“tidak, malah kau yang akan gila bila membantah keceriaan ini”
“tidak”
“aku yakin kamu pasti ingin”
“jangan buat aku menangis”
“menangislah biar hujan merahasiakannya”
“tidak”
“ayolah”
Hujan malam mereda. Malam mereda, begitupun yang lainnya. Kau tertunduk penuh. Dalam hati beradu dengan rayu, hatinya begitu bisu mengatakan karena rumitnya mulut. Gaduh yang menyambar, yang bikin merinding yang bikin melayang, tapi mulut begitu rumit. Dalam keluh yang terbasuh ada teguh yang melepuh, tapi mulut seperti tak setubuh. Namun datangnya sinar diujung jalan yang di sambut pohonan pada tepi jalan dan embun pagi yang membekukan angin dan daun pohonan, bagai keindahan jalan pulang yang damai dan tenang. Kau yang sedang berluas pandang, yang bingung dengan segala haru, yang tak sadar menjatuhkan air mata kesedihan dan kebahagiaan. Menatap aku dengan segala keharuan dan penyesalan, melepaskan semua dari mulut yang mengadu.
“sepertinya aku mengalah. Aku menangis, aku berbahagia. Hujan ini,” kau menangis
“sudahlah, lagi pula ini tidaklah sedang hujan,”

“tapi, mari kita nikmati datangnya pagi ini,” sambil menatap mentari yang meraba-raba

Kamis, 30 Oktober 2014

Tidak Terkendali

Sebuah ruang gelap seorang anak pendiam, mencari jatidiri, dari sebuah gerombolan. Aku temukan diri ini terpaku pada bisunya raga. Rasa ingin tau yang rapat-rapat aku sembunyikan, mulai menggelegak sampai di ujung tenggorokan. sulit bernafas, terengah-engah, melihat sekitar, batin berucap-ucap, keringat berkeliaran, dan telinga mendengar dengung tak dikenal. Aku kembali diam, setelah memastikan keadaan dalam ruangan tidak terpengaruh oleh kegusaranku tadi. Bagaimana harus kukatakan keadaan ini padamu, padanya dan pada mereka. 
Aku terkadang tidak terkendali. berkata yang tidak dapat dipahami, tidak mendengar dengan jernih, penglihatan yang semu dan berdebu. Aku semakin tidak mengerti. dengan yang terjadi. bukan mimpi, bukan halusinasi, bukan fatamorgana, bukan ilusi, bukan khayalan ataupun bayang-bayang. Diri ini seakan tidak dimiliki seorang saja. Ketika aku mulai tak berdaya dan berada dibatas terendah. tubuh ini bertingkah semaunya bukan semauku, aku tak terkendali. tidak ada yang aku pahami. Walaupun aku sampai melewati batas kesadaran. Ini misteri, ini misteri.
misteri adalah sesuatu yang tidak terkendali.

Jumat, 17 Oktober 2014

Cerpen : Arasti : Paragraf 3, 4 dan 5

.............
Arasti gadis cantik bak hiasan mustika dengan kacamata didepan matanya. Teman laki seumurannya siapa tak suka. Berbagai macam deskripsi dan narasi keanggunannya sudah banyak digambarkan teman laki seumurannya. Namun dia lebih suka tidak diganggu hal semacam itu. Paling-paling dia akan berucap begini : “pergilah kamu selagi kamu bisa pergi dariku sebelum kamu tidak lagi bisa pergi dariku,” bila ada yang nekat ingin dekat dengannya.
Arasti bukan lah orang yang sombong dan menyebalkan seperti kebanyakan temannya pikirkan. Ia hanya punya pikiran yang jauh dari apa yang teman-temannya bisa pikirkan. Kadang-kadang dia heran dengan dirinya sendiri. Kadang-kadang dia merasa paham atas apa yang dia lakukan. Walaupun begitu arasti tetaplah anak sekolah yang harus pulang setelah jam pulang tiba, dan menjemput mimpi dilangit sambil berkata : “mimpi, ayo kita pulang dan makan. Perutmu harus diisi supaya kamu tetap kuat bermain,”. 
Arasti yang suka memandang keluar jendela. Memastikan cuaca sedang baik, agar mimpi bisa bermain dengan girangnya. Ibunya yang menyuruhnya mengerjakan PR, tidak dia hiraukan. Bukan berarti arasti anak yang pemalas dan bodoh. Peringkat tiga besar disekolahnya tidak pernah goyah darinya. Mimpi tidak selamanya mengganggu perhatiannya terhadap apa yang wajib dia lakukan. 

Selasa, 30 September 2014

Cerpen : Judul : Arasti : Paragraf 1 dan 2.

A R A S T I
Oleh :  Arief Maulana Azzahri
Langit cerah. Ada awan berpareidolia seekor burung disana. Dan ada burung asli juga. Arasti menatapnya dalam, sambil berbaring pada taman bunga.
“coba bayangkan kalau tak ada langit di atas sana. Mimpi takkan bisa terbang bebas,” katanya.

Ia berdiri dan dikembangkannya tangan, ditutupnya mata, dan dikepak-kepak tangannya. Terbanglah ia dalam mimpinya, pikirnya. Jadi burung ia, girang gembira. Tawa  poranya bebas beterbangan tanpa ragu. Menjadi awan dan menggelintirkan hujan rintik pada bunga kering. Menjadi pelangi ia, mengalirkan keindahan dan jalan harapan pada setiap mimpi yang mengambang dilangit. Menjadi matahari ia, memancarkan keteguhan pada setiap mimpi yang hampa. Begitu tentang Arasti yang lembut pada hujan musim kering kerontang. Matanya punya pandangan yang ceria dan optimis. Arasti yang ambisius, namun juga cemberut, begitulah dia bila kebebasannya terganggu oleh bel pertanda masuk kelas. Katanya sebelum meninggalkan mimpi dan langit sendirian diluar kelas : “tunggu aku disana, mimpi, aku akan menjemputmu sehabis pulang sekolah,”...........................

Jumat, 08 Agustus 2014

Kumpulan puisi : cahaya sebatang kara

Patah
oleh arief maulana azzahri

Aku di dalam cermin
Cermin daripada Engkau
Aku di dalam kartu
Kartu daripukau
Di atas meja peraduanku ada Engkau menancap taring
Mengait gapai
Bait demi bait langkah waktuku
Dari darahku darahair mata barah
                Aku redup
                Aku kerdip
                Aku bisu
                Aku beku
                                                Serah
Pintu batu rayu memburu
Dibalik pintu beratus juta ribu sangsai
                Siapa pintu kalau bukan buka
                Siapa luka kalau bukan derita
                Siapa tangis kalau bukan resah
                Siapa dalam kalau bukan air mata
                Walau mata tajam membelah angin rindu
                Walau mulut sedalam ucap jatuhkan tuah
                Walau tangan dapat lambai dapat peluk dapat salam dapat pukul dapat termengu
                Walau tubuh dapat tidur meniduri dapat kenyang lapar
                Walau hati perkata-kataan yang paling jujur
                Tapi aku meletus letus sampai lembah raguku
                Derainya nafas berpacu-pacu mendaki-daki debu lukaku luka dariMu

/2/
gunung-gunung diamku
gunung-gunung risauku
gunung-gunung jari genggamku
gunung-gunung daging igauku
bertangga-tangga nestapa
sampai entah dimana tadahku
bertahun mengecup mimpi
menaklukkan jam tiga enam sembilan dua belas
terkekeh menit detik memanjat air mata
segala tanam derita dalam darah tanam nama dalam kelam tanam jalan dalam cabang tanam kasih sedalam teduh tanam janji sedalam gumam malam gulita kasihku mengucap-ucap Kau  dimana?siang cekik pekik jantungku menggebu-gebu Kau bagaimana?berpilin-piling nadi seperti tali menekak leher waktuku Kau mengapa?gugur usiaku memanggilmu Kau kapan?
Sedalam mata pejam peram penat tak jua Kau
Sedalam tangan mengais-ngais tak Kau jua
Sedaging berbukit-bukit rindu menusuk aku masih kehausan
Aku lapar menanti mengigil jari-jari menampung
Kemana pintu Kau ku raba
Tubuhku telah bermandi tahun menahun keriput suara parau ku padaMu
Kasih beribu gerak
Mencabik-cabik


/3/
                rambut tujuh keliling menampung sungai deras renung
                wajah merah berlipat lipat jatuh tanah resah menimbun kata
                tangan mengais tangis bercucur hancur
                jantung berdenyut kecut terserak pahitnya sampai melambai
                perut jadi gendut seperti rahim hamil peram duri
                kaki berseret-seret beralas batu tajam dari ngiluku
                waktu telah ku kembalikan
                hati telah dicurahkan
                janji telah di sematkan
                sujud telah bungkuk dalam
                zikir dan doa telah menghujani depan
                tapi mengapa air terus tulus jadi air mandi air minum air mata air wudhu    


/4/
dengan jantung paling gantung dengan hati paling menanti dengan urat paling ikat dengan rindu paling ngalir dengan resah paling risau dengan aku yang paling masuk akulah hujan beribu jatuh akulah tusuk beribu malam akulah rasa yang beribu paling penuh segala beri
berjinjing anjing anjing babi butaMu
sayat menyayat di telapak kaki jejak

kata-kataku membilang patah

Kamis, 07 Agustus 2014

kumpulan puisi : cahaya sebatang kara

ASA
oleh arief maulana azzahri

Lahar urat nadi tenggelamkan irama nafas sedih.
Mendesir debu kehinaan yang mekar tertanam dalam benak.
Mengayuh pekat duka lara.
Ku labuhkan roh nestapa.
Bersama luka-luka yang belum terjamah.
Mendekam dalam cawan pilu.
Bingkai jiwa retak berantak.
Serpihan dera cermin tampakkan bayang asaku.
Dalam sela duka yang sirna membendung cita.
Harap lenyap siksa dunia

Rabu, 06 Agustus 2014

kumpulan puisi : cahaya sebatang kara

Matahari
oleh arief maulana azzahri

Namamu lepas dimana-mana
Menjadi darah atau resah
Lalu kemana aku berlalu
Angin ribut enggan membantu
Kǝrs.. kǝrs thǝ taim thæt nat giʌ ‘signǝl:  
Matahari yang membuka mata di timur
Matahari bernyanyi di surau-surau
Matahari pecah di batu dan rerumputan
Matahari berdenyut di buku di buku
Matahari yang telanjang di jendela-jendela
Matahari yang bikin jalan pucat bibir pucat
Matahari di seluruh kau
Sambil tangis kucoba mengusap matahari. Sambil jatuh kupaksa mendaki matahari. Sambil luka kucoba ngalir matahari. Sambil makan kucoba gigit matahari. Sambil apa aku harus bersabar diri ?. Matahari kenal puncak tahu pundak. Matahari segala berita segala rahasia. Jarum jam menembus batas nafas.
Dengan padang biar lapang. Dengan batu biar tugu. Dengan diri biar sepi. Dengan pejam biar kelam. Dengan doa biar ada. Dengan obat biar tobat. Tapi tawa jadi gila. Tapi patuh jadi rusuh. Tapi ragam jadi geram. Tapi mengapa aku tak pernah melarikan diri ?.
Matahari mencongkel di hari
Membaca mantera
Hinggap di sepenuh matahati
Lalu kemana aku berlalu
Angin ribut enggan membantu
Dan seekor kucing tiduran dibawah pagar menyembunyikan bayangannya

kumpulan puisi : cahaya sebatang kara

Dua orang yang menjadi dua orang lain
oleh arief maulana azzahri

Ketika saat untuk memahami
Telah bertampuk lain lagi
Dan panjangnya nyanyi telah menyembunyikan janji
Apa yang menjadi pertarungan kini
Bukan menuju arah tak pasti
Bergemulai cahaya menunjuk
Pada ilalang yang mencucuk pundak penduduk
Serat-serat pendidikan hanya cikal bakal yang akan saling membenci memahami
Betapa air mata telah kering kerontang di tanah ibu pertiwi
Dan cinta yang dijanjikan betul bebas menarik diri
Kita dua orang yang sama
Dan kita yang memisahkan dada dan tangan kini
Menanam duri-duri sembilu di leher-leher mimpi
Di kata yang kelewatan batas meninggi
Mana lawan mana kawan jadi pijakan

Jurang apa yang sampai menjadi begini
Bahkan lambai tangan sampai tak jumpa matamu
Malah jurang terus makin di keruk

Kami yang tidak menyimak kabar lagi
Menangkup segenap peluru kami
Dalam erang keseharian
Sampai berhenti dengung dari bedil kenestapaan di telinga kami

kumpulan puisi : cahaya sebatang kara

Jalan
oleh arief maulana azzahri

Tumpah sudah air mata mata air ini
Di tusuk wajah-wajah yang hidup tapi mati
Terpijak-pijak raga sendiri
Menjejak hingga hinggap ke lembah luka yang menganga
Kitalah yang menjadi penyakit dalam penyakit
Suara iman tak jarang kau makan
Bahkan janji jadi pautan
Dalam fantasimu bahagia
Yang dalam negri air mataku tergeletak tak berdaya di jalan jalan duka
Setinggi-tinggi duka meneriakan luka
Tapi tak sanggup memecah barah
Darahku darahkita darah langkah berderu debu
lihatlah air tanah air kita sedang dilalap dosa
dengarlah  tanah air tanah kita menangis menahan cela
ciumlah tanah air tumpah kita menebar aroma menusuk hati mengoyak pintu dalam detak
di jalan jauh disana
berbiakan dosa
apakah kita masih sekuat tadah kita dimasjid-masjid
hingga air mata tak tertampung salah
apakah kita juga masih setinggi cinta pada sejatinya
hingga luka tenggelam ke dasar lembah yang tersembunyi kasih
tapi di jalan sesungguhnya kita yang melupakannya, yang mencakarnya
luka itu adalah kita
yang terus berjalan
sampai akhirnya kita tahu itu
luka negri air darah tumpah tanah yang mengakar parah karena kita
kita!

Selasa, 05 Agustus 2014

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Akhirnya
oleh arief maulana azzahri

Mulut ku mulai mengeras
Ruh melepas sumpah
Aku turun, merapuh di telaga sunyi hampa
Lumpur di badan terdekap pula nanah
Bahagia tertunda
Begitu lama rupanya

Hembusan hening di dada

Tak sanggup. Luka besar-lebar terbuka
Di mimpi, tempat bermudah cerita
Walau akhirnya tua juga nanti aku
Tua pula genggaman tanganmu
Burung bangau berpencar
Lupa sayang pada pacar


Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Perempuan
oleh arief maulana azzahri

Hai perempuan, suara-suara ombak memendam
Pecah darahku lebur dukaku binasa suara di kelam malam
Angin wajahnya muram di tangkap kering daun-daun
Apa jiwaku antara itu?
Awan hujan datang perlahan menahan?
Terdekap lesu
Berbisu!
Nyawa terambang melayang

Pisaumu tepat di dadaku


Senin, 04 Agustus 2014

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Luka
oleh arief maulana azzahri

Kolam ikan
Berikan ikan
Sedu sedan
Berkasihkan
Bulan 
Lahir air merah
Darah
Keluar
Dari kulitku
Mengalir ke dalam kolam


Rabu, 30 Juli 2014

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Kala
oleh arief maulana azzahri

Kala pagi ini menjemur umur, kita merangkaki jendela dan embun yang memudar
Yang terputus panas matahari itu kita berpencar
Dan yang tersenyum dari pohon ke pohon di kaca samping rumah itu kita saling bercerita
Kala sore ini kita hilang rasa dan tertidur
Dan menyapa mimpi kala malam ini, tak pernah kita lagi berunding
Berkisah sendiri dengan gadis-gadis kecil dalam mimpi


Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Lelaki Itu...
oleh arief maulana azzahri

Lelaki itu setiap pagi sebelum pergi, disiraminya hujan, agar hujan tetap basah di taman, di ranting dan dedaunan,
Setiap pagi hujan begitu subur, di taman di ranting dan dedaunan.
Lelaki itu setiap sore sesudah pulang, dibersihkannya kaca jendela, agar dia bisa melihat keluar, hujan yang tumbuh besar,
Setiap sore hujan begitu subur, diluar jendela.
Lelaki itu setiap malam sebelum tidur, diciumnya harum bunga hujan,  walaupun bunga hujan belum membuka sepenuhnya jari-jarinya,
Hujan tidak perlu berterima kasih, tetapi setiap malam hujan tumbuh subur diluar jendela


Jumat, 18 Juli 2014

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Saat berjalan di cermin
By arief maulana azzahri

aku berfikir kemarin itu
tidaklah merapuh embun itu di cermin
‘kan kusungguhkan hati bertahan menahan cobaan
bukannya aku tak mau berubah keinginan
namun jauh sebelum aku terbangun, aku tak sempat bermimpi
dan berjalan diatas hukuman Tuhan

ada atau tidaknya keteguhanku
aku berhenti karena kau
aku menoleh-memaling juga karena kau
siapakah kau yang mencuri segala sesuatu dari ku?
Memenjara diriku dalam cermin

Kamis, 17 Juli 2014

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Antara Ruang
by arief maulana azzahri

Sandaran diri pada angin musim panas
Keramaian yang kau buat sendiri
Dari tempat perenungan
Rintik-rintik cahaya, kau tampung di atas tangan
Dan pelabuhan tegar sayapmu
Berjalan dengan sebelah kekuatan
Keadaan tak perlu ditanya
Keraguan yang lalu telah membeku
Dingin laut biru dan biru matamu
Air yang pecah dan perih di mata
Usaplah dengan cahaya yang kau kumpulkan
Segala sajak dan harumnya doa
Akan terus mengalun menderus duka
Mari sekeliling ruang diperkuda
Melaju hingga tingginya jiwa
Dan hidup beribu perkasa
Esok pasti baik lagi

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Lemah
by arief maulana azzahri

Dari detik ke waktu yang tuju nama satu jaya
Usia terus memetik tangga akhir
Tapi aku segala ragu
Memeluk
Ya Allah
Aku terlalu jauh
Dari sajadah
Dari ibadah
Dan aku sekarang mulai rapuh
Atas sujudku kini
Seluruh serahku ini
Aku beri dzikir dan doa
Kubawa hati dan duri
Aku takut panas api neraka-Mu
Hangus
Jadi abu sia-sia bertubuh
Dari langkah kini
Kutulis ayat-ayat rindu
Dan Doa permohonan
Dari rasa yang terasing
Menuju jalan ridhoMu

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Sepucuk Pengarang 
by arief maulana azzahri

Semenjak pengarang lahir dari rahim ibu, dia telah menciptakan karya suci, Seperti; karangan bunga yang diucapkan dengan lantang saat dia pertama kali menghirup kedunia—tersenyum-terharulah ibunya.

Bahkan dia tahu kapan bakal berhenti dan mati abadi, maka telah ditaksirnya puisi menjadi doa, agar kita selalu membacanya, sebagai doa.

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Yang Larut Dalam Cerita
by arief maulana azzahri

Setangkai bunga yang berjatuhan rambutnya
Terduduk pada goresan musim gugur
Diterka-terkanya lagi beberapa waktu yang tersisa
Sebelum terlahir kembali rambut-rambutnya
Sebelum dia benar-benar lupa
Tentang senandung cahaya dan air mata
Dan sepasang kumbang yang bernyanyi:
Kemana setiap kenangan menjelma,
Ketika setiap kenangan menjelma warna,
Ketika kenangan menjelma warna yang bening
Ketika menjelma warna yang bening dan berkilauan

Ketika bening kenangan membasahi kelopak bumi
Mendadak terhentak setangkai bunga

Sambil keheranan melihat dirinya sendiri

Kumpulan Puisi : Cahaya Sebatang Kara

Trouble Man
by arief maulana azzahri

Aku tak layak meminjam pemikiran-pemikiranmu
Seperti benar apa yang dikatakan Elliot
Maka aku benarkan kembali apa tujuanku mengenalmu
Karena jalan yang terlampau jauh ini
Bekal yang kau sisakan untukku,
Tak kan cukup buat menahan rasa penasaranku
Juga tanah harapan yang mustahil tersentuh itu
Duniamu seperti tangga tak berujung
Mungkin aku seorang yang beruntung
Aaron... 
Bila dalam bukuku nanti,
Tidak kusebutkan namamu dengan lengkap,
Atau mungkin akan kusamarkan saja dalam kata-kata,
segala sengketa yang terjadi antara kita
serta kebohongannya.
Tetapi aku terlalu takut
Menceritakan ulang tentang pertemuanku denganmu diperempatan jalan itu
Yang meyakinkanku oleh katamu saat itu sebuah kebenaran.
Memandangku dengan hanya sebelah mata
Membawaku sekeliling dunia
Kau tahu aku tak puas
Maka kau layani aku hingga aku jadi buas
Ah segalanya ada padamu tersirap dalam kitab
Sayang Tolkien tidak pelik terhadapmu
Namun dalam bukuku nanti aku hanya akan berterimakasih diawal saja

Sabtu, 12 Juli 2014

Poetry In Ramadhan

Poetry in Ramadhan
oleh Arief Maulana Azzahri

Dalam sembahyang
Dan menangkap arti
Sembah jiwa menghamparkan langkah hidup yang luas
Masa keharibaan
Jauhkanlah resah yang menyeri di pundak pengabdian. Keras
lengking nyanyi karena sembilu nancap di kedalaman
hatiku. Kehadiran—MU tak berjarak adalah keharuan; kerinduan; keteduhan
Bismillah ku bangun dengan megah
Aku lafazkan dengan nada yang bening. Namun
bagaimana aku melepas getah
Allah hu akbar—kuiringi—Laailaahailallah
Malam penuh nyanyi
Tebal kurenung-kampung yang putih dan merah
Pengabdian yang masih muda ini,
Apakah masih bisa ku dapati
Kesempurnaan menegak shalat
Dengan ridho Illahi 
Dan kesaksian malaikat
Masa keharibaan
Padaku hakekat bagai angkasa air mata

Posting For #RnC
Ramadhan

Minggu, 25 Mei 2014

Aku Merindukan Hari-Hari Bersamanya



         
         Sepuluh keliling rak telah aku putari. Belum puas rasanya. Pada rak sepuluh aku berhenti. Sebuah buku Terang Bulan ditangan kiriku tak seterang suasana hatiku. Sudah berapa waktu juga aku coba hilangkan dan mau tidak mau berdatangan juga hari yang lalu. Bayang-bayangmu. Aku memejam mata, aku ingat ketika itu, saat aku membuka mata kutemukan dirimu pas disampingku sedang mengorek-orek buku-buku yang berantakan di rak itu. Aku masih tidak begitu peduli. Sampai kau bertanya padaku. “hei kamu, maukah kamu membantuku?.” Pintamu. “hei.. tentu, apa yang mau dibantu?.” Jawabku polos. Kau pun mengatakan.”maukah kamu mendengarkan ceritaku?.” Aku  hanya tersenyum...
            Memang salah ku benar waktu itu. Tidak aku catat benar-benar apa yang aku katakan padamu. Tapi sudah terlampau lama kau rasai, dan sepi tak hingga. Tidak kutemukan bahasa rindumu lagi dan wajahmu yang bertumpu separuh tangan. Rindumu sebelum waktu ini: “tahu kah kamu?.” Tanyamu. “tahu apa?.” Aku balik bertanya. “saat aku rindu padamu, aku bisa membuat seribu puisi rindu.” Katamu. “lalu aku bisa apa?.” Tanyaku lagi. “kamu bisa membacanya, untukku.”
          

Minggu, 18 Mei 2014

Kubuka Kembali Tulisan Itu


      Hai sahabat, kutemukan kembali kenanganmu dari buku tua ini. Si Pram sepertinya menginginkan aku untuk mengingatmu kembali. Dua tahun yang lalu kurasa, catatan ini baru ku buka kembali. Maafkan aku Pram. kusia-siakan dua tahun itu kubiarkan kau menjaganya. Sekarang kau sudah sedikit lega bukan, Pram. Ku tinggalkan dulu sejenak dirimu. 
      Hai sahabat, kubaca kembali tulisanmu dari banyak tulisan itu. Masihkah kau ingat terakhir kali kita menulis dalam buku ini. Kau terlihat senang, walaupun kau coba untuk membuatnya biasa saja, aku tetap bisa melihatnya. Sayang sekarang kita terpisah terlalu jauh. Disini aku hanya bisa berharap kau disana merasa nyaman dan bahagia. Doakan juga itu padaku oke.

Minggu, 11 Mei 2014

Pemikiran Dari Masa Lalu



I

Eksprolog

Takdir dan Peristiwa

            Takdir dan peristiwa, adalah bagian cerita yang sebelumnya tidak diyakini benar terjadi. Tidak ada bukti-bukti pasti yang dapat menjelaskan dengan yakin. Bahkan dipercaya buku-buku peninggalan mengenai kejadian-kejadian itu bisa tidak benar-benar akan ada. Beberapa generasi sebelumnya yang menafsirkan bagaimana hal itu terjadi dan berakhir, telah lama dicobapelajari oleh mereka tokoh-tokoh penting dan oleh juga Dacus-dacus –orang-orang pintar. Dan perdebatan pun saling beradu dalam masing-masing buku yang ditulis dari penelitian mereka masing-maing.
           Kurangnya lembar-lembar sejarah membuat cerita ini sulit dibuka lebih luas. Bagian terpenting yang tersisa hanyalah tatanan peradaban yang telah dan terus bergerak dan hidup sejalan dengan pemikiran yang berkembang dan tertanam rapi didalamnya. Bahkan terbentuknya tiap peradaban itu menjadi cerita nenek moyang yang tersebar pada lisan-lisan yang belum tentu dapat dipercaya. Namun ada satu orang yang tidak diduga-duga, yang nantinya akan mengoreksi banyak spekulasi yang telah ada. Sesuatu  yang dimilikinya  dapat diyakini ada beberapa cerita penting yang telah terjadi padanya dan kejadian-kejadian tersembunyi yang terjadi bersamanya. Dia menamakan dirinya Rapsaa –pembawa  berita. Nama itu sudah sangat lama tidak digunakan dibeberapa wilayah. Bahkan mungkin juga di wilayah asal bahasa itu diciptakan. Dia akan membuka banyak rahasia dan kebenaran, dan juga hal-hal mengejutkan lainnya dari apa yang dia miliki. Dan buku-buku itu.
            Berikutnya cerita akan lebih banyak menampilkan penjelasan-penjelasan yang dikemukakan oleh Rapsaa –dan buku-buku bersamanya, dan juga beberapa dari penelitian dan peninjauan yang disesuaikan.